![]() |
ilustrasi gubuk © tubasmedia.com |
Hingga datanglah seorang ibu yang kemudian menggetarkan imanku dan membuatku tak bisa menahan air mata.
Semula, aku berpikiran ibu ini hanya
akan melihat-lihat saja. Karena dari penampilannya, aku menduga ia
bukanlah tipe orang yang mampu berqurban. Meski demikian, sebagai
pedagang yang baik aku harus tetap melayaninya.
“Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapaku seramah mungkin
“Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah.
“Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah.
“Itu 700 ribu Bu,” tentu saja harga itu
bukan tahun ini. Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Kalau harga
kambing qurban tahun ini, paling murah sekitar 1,5 juta. Yang agak
besar 2,5 juta.
“Harga pasnya berapa?”
“Harga pasnya berapa?”
Meskipun aku belum yakin ibu tersebut akan membelinya, minimal ia telah menunjukkan minatnya terhadap kambingku. “Bolehlah 600 ribu, Bu. Itu untungnya sangat tipis. Buat ibu, bolehlah kalau ibu mau”
“Tapi, uang saya Cuma 500 ribu, Pak.
Boleh?” kata ibu itu dengan penuh harap. Keyakinanku mulai berubah. Ibu
ini benar-benar serius mau berqurban. Mungkin hanya tampilannya saja
yang sederhana tapi sejatinya ia bukanlah orang miskin. Nyatanya ia
mampu berqurban.
“Baik lah, Bu. Meskipun tidak mendapat
untung, semoga ini barakah,” jawabku setelah agak lama berpikir.
Bagaimana tidak, 500 ribu itu berarti sama dengan harga beli. Tapi
melihat ibu itu, aku tidak tega menolaknya.
Aku pun kemudian mengantar kambing itu
ke rumahnya. “Astaghfirullah… Allaahu akbar…” Aku terperanjat. Rumah ibu
ini tak lebih dari sebuah gubuk berlantai tanah. Ukurannya kecil, dan
di dalamnya tidak ada perabot mewah. Bahkan kursi, meja, barang-barang
elektronik, dan kasur pun tak ada. Hanya ada dipan beralas tikar yang
kini terbaring seorang nenek di atasnya. Rupanya nenek itu adalah ibu
dari wanita yang membeli kambing tadi. Mereka tinggal bertiga dengan
seorang anak kecil yang tak lain adalah cucu nenek tersebut.
“Emak, lihat apa yang Sumi bawa” kata
ibu yang ternyata bernama Sumi itu. Yang dipanggil Emak kemudian
menolehkan kepalanya, “Sumi bawa kambing Mak. Alhamdulillah, kita bisa
berqurban”
Tubuh yang renta itu duduk sambil
menengadahkan tangan. “Alhamdulillah… akhirnya kesampaian juga Emak
berqurban. Terima kasih ya Allah…”
“Ini uangnya Pak. Maaf ya kalau saya
nawarnya terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini,
saya sengaja mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat qurban atas
nama Emak….” kata Bu Sumi.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak,
sambil menahan tetes air mata, saya berdoa dalam hati, “Ya Allah… Ampuni
dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih
mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar
biasa”.
“Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu.
“Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar”, jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
“Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar”, jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
Untuk menjadi mulia, ternyata tak harus
menunggu kaya. Untuk mampu berqurban, ternyata yang dibutuhkan adalah
kesungguhan. Kita jauh lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita bukan gubuk,
lantainya keramik. Ada kursi, ada meja, ada perabot hingga TV di rumah
kita. Ada kendaraan. Bahkan, HP kita lebih mahal dari harga kambing
qurban. Tapi… sudah sungguh-sungguhkah kita mempersiapkan qurban? Masih
ada waktu sekitar satu bulan. [Keluargacinta.com]
INILAH YG DI BUTUHKAN PARA REMAJA SAAT INI. GOOD
ReplyDelete