Berikut ini kisah lengkapnya seperti diterjemahkan secara bebas dari laman fitrihadi.com:
Sebenarnya kami adalah pasangan yang
romantis. Bahkan, teman-teman sering memperbincangkan keharmonisan kami.
Meskipun bekerja, aku tetap melayani suami dan mengurus anak-anak
dengan baik. Aku bersyukur suami memahami posisiku. Ini membuat aku
semakin sayang kepadanya.
Sementara suamiku, di tengah
kesibukannya, ia juga selalu membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
domestik. Ia juga sering mengimamiku shalat. Aku bahagia dengan hubungan
kami.
Hari itu, Senin. Aku ingat betul. Aku
pergi ke kantor pagi-pagi karena banyak urusan yang harus aku
selesaikan. Termasuk janji bertemu dengan sejumlah klien. Biasanya jam 6
petang aku sudah berada di rumah, hampir bersamaan dengan azan Maghrib
berkumandang. Aku lihat suamiku telah bersiap-siap untuk shalat Maghrib.
Pun anak-anak telah tampil rapi, mereka sudah mandi dan tampak riang
bersama ayahnya. Aku lihat suamiku sangat bahagia bersama anak-anak
petang itu.
Ba’da Maghrib, kami keluar ke sebuah
restoran. Jaraknya sekira 5 kilometer dari rumah. Sepanjang perjalanan
kami bergurau, ngobrol ke sana kemari, disertai tawa yang kadang-kadang
lepas.
Aku merasakan kegembiraan suamiku petang
itu lain dari biasanya. Cara bercandanya, cara tersenyum dan
tertawanya… Dalam hati aku hanya bisa bersyukur dan berbahagia.
“Sudah jam 12.30 tengah malam, Bang. Ayo
pulang,” kataku setelah melihat jam tangan. Tak terasa sudah larut.
Tanpa banyak bicara, suamiku pergi ke kasir.
Kami tiba di rumah dua puluh menit
kemudian. Anak-anak kami yang jumlahnya tiga orang segera masuk rumah
dan tidur. Usia si bungsu baru tujuh tahun, sedangkan si sulung berusia
12 tahun.
Aku juga mulai mengantuk. Maklum, di jam
segini dan setelah perut terisi dengan makanan lezat restoran tadi,
bawaannya ingin langsung tidur saja. Di saat seperti itu suami membelai
rambutku, ia menginginkan sesuatu. Tapi mataku terasa berat, aku ingin
tidur.
Suami membisikiku, ini permintaan
terakhirnya. Namun, aku berpikir, aku mengantuk dan dia juga mungkin
kecapekan. Lebih baik besuk saja. Perlahan-lahan suami melepaskan
pelukannya.
Pagi harinya, ada perasaan tak menentu.
Seperti ada hal besar yang akan terjadi. Aku menelpon suami, tetapi
tidak dijawab. Hingga kemudian aku dikejutkan dengan telepon dari
kepolisian. Mereka mengabarkan bahwa suamiku kecelakaan dan memintaku
segera datang ke rumah sakit.
Hatiku seakan pecah saat itu. Aku ke
rumah sakit, tetapi segalanya telah terlambat. Suamiku menghembuskan
nafas terakhirnya sebelum aku tiba di sana. Air mata menjadi saksi
betapa aku sangat kehilangan dirinya.
Yang lebih kusesali, meskipun aku telah
ridha dengan takdir dariNya, aku tidak memenuhi permintaan di malam
terakhirnya. Hatiku dihinggapi perasaan bersalah yang luar biasa. Aku
takut jika suamiku pergi menghadapNya dalam kondisi tidak ridha
kepadaku. Dan aku tidak sempat meminta maaf kepadanya karena kini ia
telah terbaring kaku.
Aku jadi ingat dengan hadits Nabi, “Demi
Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang suami yang mengajak
istrinya tidur bersama, lalu ditolak isterinya, maka malaikat yang di
langit akan murka kepada istrinya itu hingga suami memaafkannya”.
Setiap kali teringat suami, mataku gerimis. Pipiku basah. Aku hanya bisa memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi
seluruh wanita muslimah di segala penjuru dunia. Jika suamimu memintamu,
sepanjang kau mampu, penuhilah. Sebab engkau tak pernah tahu kapan
tiba-tiba Allah mengambil suamimu. Dan semoga engkau selalu mendapatkan
rahmatNya, tersebab suami yang selalu ridha padamu kapan pun juga.
[Kisahikmah.com]
0 komentar:
Post a Comment
Tolong berikan komentar pada artikel , komentar yang yang supportif dan konstruktif.